SUMBARPOS.COM (SPC), JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini Wajar dengan Pengecualian (WDP) untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2015. Opini itu diberikan untuk laporan keuangan pemerintah pusat karena terdapat enam masalah.
“Pertama, pemerintah pusat menyajikan investasi permanen penyertaan modal negara (PMN) per 31 Desember 2015 sebesar Rp 1.800,93 triliun. Dari nilai investasi permanen tersebut, sebesar Rp 848,38 triliun merupakan PMN pada PT PLN,” kata Ketua BPK Harry Azhar Aziz, di Istana Negara, Jakarta, Senin (6/6/2016).
Harry menjelaskan PLN juga mengubah kebijakan akuntansinya dengan tidak menerapkan ISAK 8. Hal ini menimbulkan perbedaan nilai PMN pada PT PLN per 31 Desember 2015 unaudited sebesar Rp 43,44 triliun. Sebagai akibatnya, lanjut dia, BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka tersebut.
Masalah kedua, Harry mengatakan pemerintah menetapkan harga jual eceran minyak solar bersubsidi lebih tinggi dari harga dasar termasuk pajak dikurangi subsisi tetap, sehingga membebani konsumen. Tidak hanya itu, hal tersebut menambah keuntungan badan usaha melebihi seharusnya sebesar Rp 3,19 triliun. Status dana itu pun belum ditetapkan.
“Ketiga, piutang bukan pajak sebesar Rp 1,82 triliun dari uang pengganti perkara tindak pidana korupsi pada Kejaksaan RI. Dan sebesar Rp 33,94 miliar dan USD 206,87 juta dari Iuran Tetap, Royalti, dan PHT pada Kementerian ESDM tidak didukung dokumen sumber yang memadai, serta Rp 101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar,” papar Harry.
Masalah keempat, persediaan pada Kementerian Pertahanan sebesar Rp 2,49 triiun belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi, dan rekonsiliasi barang milik negara yang memadai. Kemudian, persediaan untuk diserahkan ke masyarakat pada Kementerian Pertanian sebesar Rp 2,33 tirliun belum dapat dijelaskan status penyerahannya.
“Kelima, pencatatan dan penyajian catatan dan fisik saldo anggaran lebih (SAL) tidak akurat, sehingga kewajaran transaksi dan atau saldo terkait SAL sebesar Rp 6,60 triliun tidak dapat diyakini,” ujar Harry.
Masalah terakhir, kata Harry Azhar Azis, koreksi-koreksi pemerintah yang mengurangi nilai ekuitas sebesar Rp 96,53 triliun dan transaksi antar entitas sebesar Rp 53,34 triliun, tidak dapat dijelaskan dan tidak didukung dokumen sumber yang memadai. (Liputan6)