Minyak jelantah atau minyak goreng bekas atau minyak jelantah — selama ini kerap dianggap limbah tak bernilai. Namun, siapa sangka, Indonesia justru memiliki potensi jelantah terbaik di dunia yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku energi terbarukan, seperti Sustainable Aviation Fuel (SAF).
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Pengumpul Jelantah untuk Energi Baru Terbarukan Indonesia (APJETI), Matias Tumanggor, dalam Workshop Rantai Pasok Minyak Jelantah Berkelanjutan untuk SAF yang digelar di Gedung BJ Habibie, Jakarta, Rabu, 16 April 2025, seperti dilansir dari laman resmi BRIN.
Menurut Matias, kualitas jelantah Indonesia menempati peringkat pertama dunia berkat bahan bakunya yang sebagian besar berasal dari minyak nabati, yang digunakan oleh sektor hotel, restoran, dan kafe di dalam negeri. “Karena mengikuti asas halal, 95% bahan yang digunakan berasal dari minyak nabati. Ini juga yang diakui oleh mitra luar negeri,” ujarnya.
Sayangnya, meskipun potensinya sangat besar, pemanfaatan jelantah di dalam negeri masih minim. Sebagian besar jelantah hanya dimanfaatkan untuk produk lokal seperti lilin dan sabun. Padahal bahan ini bisa menjadi komoditas strategis untuk bahan bakar ramah lingkungan. APJETI sendiri telah menginisiasi pengumpulan jelantah sejak 2010. Semakin hari, produksi maupun kesadaran masyarakat terus meningkat.
Matias menyoroti absennya regulasi nasional yang mengatur secara khusus tentang tata kelola minyak jelantah. Ini menyebabkan kegiatan pengumpulan masih dianggap ilegal atau menyalahgunakan bahan limbah. Padahal pengelolaan yang baik berpotensi menyelamatkan lingkungan sekaligus menjadi sumber energi bersih.
“Kami ingin dilibatkan dalam penyusunan regulasi karena ini menyangkut kesehatan, lingkungan, dan masa depan energi,” katanya.
Matias menjelaskan bahwa pengumpulan jelantah dilakukan dari berbagai sektor, mulai dari rumah tangga (melalui bank sampah atau sistem door-to-door), usaha makanan-minuman seperti hotel dan restoran, hingga UMKM, kantin, pedagang kaki lima, serta industri pertambangan. Bahkan, mereka juga menangani limbah penggorengan dari gorengan hingga kerupuk kadaluarsa.
Namun begitu, tantangan yang dihadapi tidak sedikit. Mulai dari tidak adanya kepastian pemanfaatan dalam negeri, belum adanya pembinaan kepada pelaku usaha kecil, hingga masih maraknya pengumpulan oleh pihak yang tidak terorganisir secara legal.
Untuk menjawab tantangan tersebut, APJETI telah menyiapkan sejumlah strategi: mendorong lahirnya pelaku usaha teredukasi dari desa hingga provinsi, melakukan sosialisasi masif ke masyarakat, bekerja sama dengan komunitas dan organisasi lokal, serta menggandeng BUMDes dan pemerintah daerah dalam memperluas wilayah pengumpulan hingga ke pelosok desa.
Workshop ini digelar oleh BRIN melalui Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup (PRSPBPDH), bekerja sama dengan PT Noovoleum Indonesia Investama, dengan pendekatan analisis Life Cycle Assessment (LCA).
Melalui kegiatan ini, diharapkan lahir sinergi antara pemangku kepentingan untuk membangun rantai pasok minyak jelantah yang berkelanjutan dan efisien. Dengan begitu, jelantah bukan lagi sekadar limbah, melainkan peluang besar dalam mendorong transisi energi Indonesia menuju masa depan yang lebih hijau.***