SUMBARPOS.COM – PARA eks penderita kusta yang dirawat di RS Kusta Sitanala, Kota Tangerang, kini banyak yang menjadi pengemis. Pekerjaan ini menjadi sumber utama pendapatan mereka. Maklum, penghasilannya bisa mencapai jutaan rupiah setiap bulannya.
TOGAR HARAHAP – Neglasari
SIANG itu, sinar matahari merambat naik di langit Kota Tangerang. Dengan tertatih-tatih, Sukali (56) menyeberangi lampu merah Tugu Adipura. Tangan kirinya masih sibuk membetulkan letak kaki palsunya. Sementara yang kanan, merogoh kantong celananya. Aman, uang hasil mengemisnya masih tersimpan dengan rapi.
Kelompok pengemis yang berada di seberang jalan telah memanggilnya. Mereka memberi aba-aba agar pria asal Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat ini duduk di atas trotoar. Di bawah pohon akasia, Sukali duduk termenung. Sekali-kali matanya menatap ke arah jalan.
Sukali mulai beraksi. Dia ancang-ancang saat lampu kuning berkedip. Setelah lampu paling atas terang warnanya ia turun ke jalan. Ia menyusuri dari samping pintu kemudi mobil satu ke mobil lainnya. Mengulurkan telapak tangan kanannya; meminta-minta.
Waktu berlalu dengan cepat dan tanpa terasa hari sudah menjelang malam tapi Sukali enggan pergi dari tempat tersebut jika keadaan di sekitarnya belum sepi. Ia bersama puluhan rekannya tahu jam berapa Trantib akan lewat sana.
”Biasanya kami sudah ada di lampu merah kalau siang dan malam, kalau sudah sore biasanya kami bersembunyi dulu,” ujar pria yang dulu merupakan pegawai kebersihan RS Kusta Sitanala itu.
Jam Rolex buatan China di tangannya menunjukkan pukul 21.00, Sukali beranjak pergi dari tempat tersebut untuk pulang menuju ke rumahnya di RT 01 RW 013, Kelurahan Karang Sari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang.
Sebuah rumah kontrakan berlantai ubin dan triplek ia bangun sendiri berbidang 10×5 di atas lahan RS Sitanala. Meski dirinya sendiri gelisah karena bisa diusir kapan saja pemiliknya mau.
Sesampai di rumah, luka di ujung jarinya mulai diobati. Matanya sesaat tertutup, merasakan perihnya cairan antibiotic Rivanol meresap ke daging tubuh renta tersebut.
Karmini (50) adik kandung yang merawatnya sejak 1986, dengan sabar mengusap bagian yang luka. ”Selain dikasih obat luka, saya juga harus minum Amoxcylin atau obat paracetamol,” katanya.
Tanpa basa-basi, Sukali mulai merogoh isi kantungnya. Ia menghitung uang yang dia dapatkan hasil dari mengemis yang dia dapatkan hari ini. Hari itu ia mendapatkan uang sebanyak Rp 300 ribu.
Itu merupakan penghasilan rata-rata para pengemis Sitanala pada umumnya. ”Tapi uang itu belum termasuk saya harus ngirim ke Indramayu, sebulan bisa Rp 2 juta, lalu kontrakan, pulsa dan hidup saya sehari-hari sama upah ojek juga,” terangnya.
Ya, ojek yang disewanya harus dibayar Rp 25 ribu pulang pergi. Itu belum termasuk uang rokok sang sopir. Hape Nokia miliknya adalah alat komunikasi satu-satunya untuk menghubungi ojek langganan. Mulai ba’da Subuh, sang pengojek telah menjemput bapak dua anak ini.
Sukali menyadari jika pekerjaannya jadi aib. Tapi ia mengaku keterbatasan fisiknya membuat ia harus tahan bersusah payah meminta belas kasihan orang.
Sejak tahun 2000, ia sudah menjadi pengemis. Hatinya belum bisa menerima jika penyakit lepranya yang ia idap sejak tahun 1986 ini membuat hidupnya luluh lantak. Mulai dari sang istri yang menceraikannya hingga dua anaknya ditampung di rumah sanak saudara.
”Anak saya Hamnon Assyaputra (15) saya titipkan kepada keluarga di Jatibarang, lalu yang kecil bernama Hafid (7) juga saya kasihkan ke adik saya di Batam. Jadi saya cuma sendiri di sini. Paling adik saya Karmini yang datang menjenguk,” katanya.
Selain Sukali, ada juga pengemis perempuan , namanya, Titin Sumiyatin (57). Wanita asal Subang Jawa Barat ini merupakan eks penderita Kusta tahun 1987. Ia lulus menyandang status bebas lepra atau Released From Treatment (berhenti minum obat kusta).
Namun, bertahun-tahun menjadi penderita membuatnya sadar jika ia tidak memiliki bekal bekerja. Dan mengemis adalah satu-satunya pekerjaan yang mudah baginya.
Teriknya matahari, tebaran debu dan asap knalpot kendaraan yang lalu lalang dan berhenti di jalan raya, seolah telah menjadi sahabatnya selama 30 tahun. ”Saya, biarpun mengemis begini, saya masih bisa dagang, mas,” katanya.
Selain dari mengemis, kehidupan Titin ditopang oleh usahanya berdagang kopi dan gorengan di atas bangsal ruangan bekas sekolah eks penderita kusta. Tubuhnya yang ringkih habis dimakan lepra hingga jari jemarinya menghilang dan memakai kaki palsu.
Dari hasil mengemis tersebut, ia mampu menghidupi tiga anaknya yang lulus hingga SMA. Belum lagi ia juga mendapat kiriman bulanan dari Purwani yang merantau ke Muaro Bungo, Jambi yang bekerja sebagai tukang kayu. ”Tapi sayangnya Erwin anak bontot saya belum mengambil ijazah, karena belum bayaran,” imbuhnya.
Mungkin banyak yang peduli. Pemerintah yang mendapatkan mandat Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya telah menjamin hak orang miskin. Namun sayang, Titin dan beberapa rekannya harus gigit jari karena beras untuk warga miskin (Raskin) tak sampai di rumahnya.
”Kalau sudah begini, kami yang kusta ini sudah diejek orang, diejek pula sama pemerintah,” ujarnya kepada Radar Banten (Jawa Pos Group).
Ketua RT 01 RW 013, Kelurahan Karang Sari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Agus Suwanto, mengatakan, kebanyakan para pengemis merupakan mantan penderita penyakit kusta serta para penderita kusta yang masih dalam taraf penyembuhan.
Di RT-nya sendiri, ada sekitar 80 KK yang berprofesi seperti itu. Mereka umumnya berkeliaran di sejumlah ruas jalan protokol dan tempat-tempat keramaian di Kota Tangerang. Mereka menjadi pengemis demi mendapatkan uang untuk biaya hidup.
Para mantan penderita kusta yang menjadi pengemis ini kebanyakan mengalami cacat fisik permanen atau luka di bagian organ tubuh yang dibalut dengan perban. Luka itu sengaja dipamerkan untuk menarik simpati masyarakat yang melintas di jalan.
Sejak Walikota Tangerang Zakaria Machmud, para eks penderita kusta ini pernah dimasukkan sebagai pekerja Dinas Kebersihan. Namun, banyak yang enggan. Ihwalnya pun sepele, masalah gaji. ”Dulu sekitar tahun 2005, lowongannya banyak. Cuma karena lebih enak mengemis mereka menolak,” terang pegawai harian lepas Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Tangerang itu.
Ia dan pihak Kelurahan Karang Sari pernah berupaya menertibkan mereka dan memberikan pelatihan ketrampilan supaya bisa mandiri sehingga tidak perlu mengemis di jalanan. Namun, usaha itu belum membuahkan hasil maksimal karena masih banyak yang kembali mengemis ke jalan.
(jpnn)