Kiprah Prajurit TNI di Perbatasan, Sungguh Luar Biasa

Featured116 Dilihat

SUMBARPOS.COM – PERLU strategi untuk membangkitkan nasionalisme masyarakat di wilayah perbatasan. Konsep yang diterapkan Batalyon Infanteri (Yonif) 725 Woroagi, Sultra, saat bertugas di Atambua, Nusa Tenggara Timur adalah berbaur dengan masyarakat. Strategi itu tak hanya berlaku di perbatasan NKRI-Timor Leste, tapi juga di Sulawesi Tenggara.

Ramadhan –Kendari Pos

Minggu (28/8), mentari di ufuk timur tampak cerah pagi itu. Suasana Markas Komando (Mako) Yonif 725 Woroagi Boro-boro begitu ramai dengan aktivitas prajurit. Terlihat sejumlah pasukan infanteri Tentara Nasional Indonesia (TNI) sedang membersihkan lingkungan sekitar.

Ada juga yang sedang berlari-lari sembari melafalkan mars prajurit Woroagi dengan nada melengking.

Hari itu, Komandan Yonif (Danyon) 725 Woroagi, Letkol Inf Nurman Syaherada turut berlari memutari pelataran lapangan Woroagi. Sikap hormat setiap prajurit yang melihatnya menjadi saapaan bagi mereka.

Nurman membalasnya dengan senyuman. Pria berusia 41 tahun itu begitu ramah dengan semua orang. Beberapa prajurit juga bercerita tentang kebaikan Nurman.

“Komandan ini orangnya berjiwa sosial. Dia sangat ramah terhadap semua orang,” bisik salah seorang prajurit kepada Kendari Pos (Jawa Pos Group).

Nurman terus berlari mengelilingi Mako Woroagi ditemani seorang prajurit. Sesekali ia berhenti untuk melakukan sit up. “Saya olahraga dulu yah,” cetus Nurman kepada wartawan koran ini sambil tersenyum.

Usai berolahraga, Nurman Syahreda mulai bercerita tentang kisah-kisahnya selama memimpin pasukan melakukan pengamanan di perbatasan NKRI-Timor Leste, Atambua, Nusa Tenggara Timur. Selain menjaga keutuhan NKRI, Nurman bersama pasukannya menyatu dengan masyarakat di sana. Mereka berusaha merebut hati masyarakat agar tetap kokoh mengumandangkan NKRI.

Di sela-sela cerita perjalanan di Atambua, Nurman juga menyelipkan awal mula terbentuknya Yonif 725 Woroagi.

“Woroagi di Sultra dibentuk pada tahun 1976, asalnya dari Sulsel. Pertama dibuka di Kecamatan Pomalaa bersamaan dengan didirikannya PT Antam. Kalau Yonif 725 Woroagi di Desa Boro-boro dibentuk pada tahun 1982,” kata Nurman.

Terkait dengan petualangannya di Atambua, ayah dua anak ini memimpin 350 personel selama mengamankan wilayah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Selain pengamanan perbatasan,  personel TNI  juga melakukan pembinaan di wilayah teritorial.

Setidaknya dengan cara itu, bisa mengendalikan situasi wilayah yang marak terjadi kasus penyelundupan barang-barang ilegal. Meskipun aktor intelektual penyelundupan didalangi orang-orang di kota besar, tapi pelaku adalah masayarakat perbatasan.

Dengan pembinaan terhadap masyarakat, paling tidak dapat mengetahui dan mengatasi kendala masyarakat setempat.

Menurutnya, kendala ekonomi yang menjadi penyebab maraknya penyelundupan. Apalagi program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah tidak menyentuh daerah pedesaan yang ada di perbatasan. Selama berada di Atambua, dia kerap melakukan bakti sosial (Baksos) kesehatan kepada warga setempat.

Yonif 725 Woroagi punya perangkat kesehatan. Ada dokter batalyon yang berkeliling desa untuk mengatasi persoalan kesehatan yang selama ini diderita masyarakat. “Dan, itu terbukti efektif untuk mendekatkan TNI dengan masyarakat,” kata suami Cut Mutiarani ini.

Berbagai jenis penyakit yang diderita masyarakat perbatasan. Yang paling dominan penyakit gatal-gatal karena kesulitan air bersih. Jangankan untuk bercocok tanam, untuk minum saja kesulitan air bersih.

Bukan hanya masyarakat yang kesulitan sumber air bersih,  anggota di pos-pos perbatasan juga susah peroleh air bersih. “Ada sumber air tapi jauh jaraknya. Makanya kami bantu melakukan pemasangan pipa. Dengan begitu ada sumber air untuk masyarakat,” katanya.

Ia mengatakan pernah mengajukan permohonan bantuan kepada lembaga perbankan dan telkomsel. Alhasil, diberikan bantuan untuk melakukan pembinaan masyarakat setempat, semisal melakukan pemasangan pipa sebagai aliran sumber air bersih untuk masyarakat.

Karena Yonif 725 berasal dari Sultra dengan ciri khas jambu mete, makanya di Atambua dikembangkan komoditi itu. Bukan menanam pohonnya tapi meningkatkan harga jualnya. Daerah itu memiliki banyak produksi jambu mete, tapi tidak dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Mereka tidak mengolah biji jambu mete agar nilai jualnya bertambah.

Mereka hanya gunakan buah jambu mete untuk pakan babi. Biji mete yang telah dikupas jika dijual tanpa melakukan pengolahan lebih dulu, harganya mencapai puluhan ribu per kilo.

Melihat produksi jambu mete yang berlimpah, Nurman mulai memikirkan cara untuk meningkatkan ekonomi masyarakat melalui jambu mete. Ia pun memutuskan untuk mengajar masyarakat cara mengolah biji jambu mete sebelum dipasarkan agar harga jualnya jauh lebih tinggi.  “Kita dampingi mereka untuk mengolah biji jambu mete dan mereka sangat antusias. Harga jualnya bisa naik beberapa kali lipat,” katanya.

Selama 9 bulan plus 10 hari bertugas di perbatasan, beberapa istri anggota melahirkan. Jumlah istri TNI yang melahirkan ketika sang suami bertugas cukup banyak namun ia mengaku tidak tahu secara pasti.

“Saya hanya dengar kabar ada istri anggota yang melahirkan. Di markas ada komando rumahan (Korum) di dalamnya ada perwira, bintara dan tamtama yang tetap tinggal untuk menjaga keluarga anggota yang bertugas. Personel kesehatan ada juga yang tetap di markas,” katanya.

Selama bertugas di sana, ia sering mendapat kunjungan sejumlah pejabat negara. Diantaranya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Kesehatan  Nila Djuwita F. Moeloek, Kepala Badan Intelijen Negara Sutyoso dan Presiden Jokowi.

Kedatangan pejabat negara itu untuk mengetahui kondisi dan keadaan wilayah perbatasan. Karena TNI yang bertugas di perbatasan dan mengetahui kondisi wilayah, ia pun menjelaskan keadaan perbatasan kepada para pejabat negara.

“Saya menjelaskan tentang wilayah perbatasan kepada pejabat negara. Karena kami yang mengetahui kondisi wilayah,” katanya sambil  memperlihatkan dokumentasi sejumlah menteri yang berkunjung di Atambua.

Anggota Yonif 725 Woroagi, Serda Fajar mengatakan selama bertugas di perbatasan banyak aksi sosial yang dilakukan. Semisal, melaksanakan pelayanan kesehatan seperti sunatan massal. Kita juga memasang pipa untuk mengaliri air bersih ke rumah-rumah penduduk. Sebab di sana masyarakat kesulitan air bersih.

“Biasanya air yang kami beli, kita bagikan juga kepada masyarakat,” tandas pria 25 tahun itu. Selain kesulitan air bersih, beberapa daerah juga belum teraliri listrik. Selama bertugas, personel membantu masyarakat mendirikan rumah adat penduduk pribumi. Karena itu, TNI sangat dekat dengan masyarakat setempat.

Personel Woroagi begitu puas dengan penugasan yang diberikan negara kepada mereka menjaga wilayah perbatasan. Banyak kisah dan kenangan yang tercipta selama 9 bulan itu. Kekompakan TNI dan masyarakat Atambua semakin kokoh.

 

(jpnn) 

Tinggalkan Balasan