SUMBARPOS.COM(SPC), PADANG – Dunia jurnalistik Indonesia, diserang virus bernama hoax. Virus kabar bohong ini menemukan momentumnya, seiring makin malasnya wartawan sebagai aktor utama praktek jurnalistik menyajikan berita yang jadi kebutuhan publik serta pasifnya akademisi menyuarakan pendapat akademiknya ke ruang publik.
Demikian benang merah, diskusi publik dalam rangka peringatan Hari Pers 2017 yang digelar Bidang Humas DPP Ikatan Alumni Unand, di Sekretariat DPP IKA Unand, Jl Mangunsarkoro No 11 Padang.
Diskusi ini menghadirkan narasumber, komisioner Komisi Informasi (KI) Sumbar Yurnaldi dan Almudazir (Redaktur Pelaksana Harian Haluan). Acara ini dibuka Sekjen DPP IKA Unand, Prof Reni Mayerni serta dihadiri pengurus lainnya seperti Hary Effendi Iskandar (wakil sekjen), Adrian Tuswandi dan Al Imran (bidang humas dan teknologi informasi).
Menurut Yurnaldi, pemberitaan media harus bisa menginspirasi masyarakat, tidak sekadar informasi yang masuk telinga kiri, lalu keluar telinga kanan. “Jika ini tidak diantisipasi, maka hoax makin merajalela dan kecemasan kita akan kabar bohong ini menggerus nilai-nilai kebangsaan, tak bisa dihambat lagi,” terang Yurnaldi .
Wartawan, menurut dia, harus terpacu menyajikan informasi terbaik. Jangan jadi corong pemerintah. Mestinya, berita yang disajikan juga dilengkapi perbandingan terhadap fakta di tengah masyarakat. “Beberapa waktu terakhir, hal itu tidak ada lagi. Maka, hoax dijadikan informasi pembanding oleh publik,” terang Yurnaldi.
Selain itu, ungkap Yurnaldi, banyak akademisi tak terkecuali di Universitas Andalas, gagap dengan kondisi aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. “Akibatnya, berita menarik sebuah media jadi hambar tersaji, tanpa ada analisis dari pakar dari dunia akademis. Tidak wartawan yang salah, tapi ketidaksiapaan pakar saat diminta untuk memberikan analisanya terkait isue kekinian yang jadi problem utama,” ujar Yurnaldi.
Sedangkan soal hoax yang menggurita di lini masa sosial, menurut Yurnaldi, bukan sebuah karya jurnalistik. ”Banyak cara untuk mengungkap apakan informasi itu hoax atau tidak. Kembalikan saja ke pakem kode etik jurnalistik dan mekanisme chek and recek, lalu kapasitas sumbernya. Tak mungkin ahli pertanian bicara tentang obat-obatan,” tegas Yurnaldi.
Sementara, Almudazir mengakui, ada gejala ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah dan media pers selang beberapa tahun terakhir. ”Masyarakat penikmat informasi mulai jengah, karena menilai informasi yang disajikan pers cendrung jadi corong pemerintah. Apalagi, media telat memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, akibatnya penikmat informasi itu suka tidak suka dan mau tidak mau jadi penyuka informasi hoax,” ujar Almudazir.
Ada banyak cara, ungkap Almudazir, mengantisipasi sehingga informasi hoax tidak meruyak ke tangah masyarakat. ”Pertama regulasi dan pengawasan pemerintah harus diperketat lagi dan media massa mau membuka diri untuk menyajikan informasi yang berbasis idealisme jurnalistik,” ujarnya.
Terkait minimnya akademisi untuk memberikan pencerahan pada masyarakat, Almudazir ikut merasakannya. ”Meminta hasil penelitian dosen saja untuk ditampilkan di koran, sulitnya minta ampun. Padahal, ketika penelitian dipublish ke publik, benefitnya sangat besar,” ujar dia.(adv)