Pemerintah diminta untuk mempertimbangkan penerapan skema kerja sama penggunaan spektrum frekuensi 5G untuk operator telekomunikasi. Skema ini sudah diterapkan oleh Singapura, di mana operator yang mendapat jatah alokasi spektrum frekuensi 5G dapat membuka kerja sama wholesale dengan operator lain yang tidak mendapatkan spektrum.
Menurut Direktur Rumah Reformasi Kebijakan, Riant Nugroho, alokasi spektrum frekuensi 5G harus berupa pita yang lebar mendekati 100 MHz untuk satu operator. Sementara operator telekomunikasi yang mendapat alokasi spektrum frekuensi teknologi secepat peluru ini adalah mereka yang betul-betul memiliki kemampuan menggelar infrastruktur 5G.
Ia mengatakan, konsekuensinya tentu hanya ada satu atau beberapa operator saja yang mendapat jatah alokasi spektrum frekuensi teknologi teknologi secepat peluru ini. Sedangkan, operator telekomunikasi lain yang tidak mendapatkan alokasi dapat bekerja sama secara wholesale dengan operator yang mendapatkan spektrum tersebut.
“Tentunya, kerja sama ini bisa dilakukan di seluruh wilayah layanan dan seluruh pita dalam IPFR (Izin Pita Frekuensi Radio). Skema seperti itu sudah diadopsi di Singapura. Kebijakan tersebut perlu rasanya kita pertimbangkan, sebab, penerapan 5G sebagai teknologi baru harus efisien,” katanya, Sabtu, 26 Desember 2020.
Riant menilai kebijakan berbagi spektrum frekuensi sebagaimana tertuang dalam UU Cipta Kerja harus dioptimalkan agar mendukung transformasi digital di Tanah Air.
“Karena keterbatasan spektrum frekuensi untuk 5G, makanya UU Cipta Kerja membuka spectrum sharing terbatas untuk penerapan teknologi baru. Seluruh sumber daya frekuensi yang ada harus dioptimalkan guna mendukung transformasi digital,” papar dia.
Mantan anggota Komite Regulasi Telekomunikasi-Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (KRT-BRTI) itu menegaskan bahwa semangat UU Cipta Kerja harus diturunkan secara lurus dan sinkron ke Rancangan Peraturan Pemerintah Pos, Telekomukasi dan Penyiaran (RPP Postelsiar) yang sekarang ini sedang dibahas.
Riant menyoroti adanya pengaturan di RPP Postelsiar yang membatasi cakupan berbagi spektrum untuk penerapan teknologi baru. Ia menilai, Pasal 49 ayat 1 seharusnya juga membolehkan spectrum sharing untuk penerapan teknologi baru yang dilakukan di seluruh wilayah layanan dan seluruh pita yang tercantum di IPFR.
“Kerja sama spektrum frekuensi radio ini kan untuk penerapan 5G. Kalau tidak boleh di seluruh wilayah dan di seluruh pita IPFR, maka skala keekonomisan tidak akan tercapai. Yang dapat menikmati layanan 5G hanya masyarakat di sebagian wilayah. Dan ingat, 5G itu memerlukan investasi yang besar,” jelasnya.
Director and Chief Technology Officer XL Axiata, I Gede Darmayusa, juga mengakui ketersediaan spektrum frekuensi serta regulasi masih menjadi tantangan dalam menggelar jaringan teknologi secepat peluru tersebut.
Menurutnya, teknologi generasi terbaru itu memiliki karakteristik yang berbeda dengan 4G. Teknologi 5G membutuhkan investasi yang besar dan ‘haus’ akan bandwidth, sehingga harus dipikirkan untuk dilakukannya spectrum sharing terhadap teknologi baru.