SUMBARPOS.COM – DALAM sepekan kemarin, dua forum yang berbeda namun tuntutannya sama ramai-ramai mendatangi Jakarta. Satunya lewat cara demo, satunya lagi dengan dialogis. Satu harapan disuarakan, ingin diangkat pemerintah sebagai PNS.
Mesya Mohammad-Jakarta
PENTOLAN honorer K2 muncul lagi. Sekian lama senyap, mereka muncul dengan agenda sharing Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Asman Abnur pada 24 Agustus. Sehari sebelumnya, mereka sudah bertemu Ketua DPD RI Irman Gusman.
Hal yang diutarakan pun tetap sama, tidak ada yang berubah. Yang berubah mungkin map penyimpan berkas.
Honorer K2 memang memilih mengambil langkah dialogis ketimbang demo. Maklum saja untuk ke Jakarta, mereka harus urunan dari sesama honorer. Terkadang rasa malu melanda pengurus forum honorer karena hasilnyaa itu-itu saja.
“Ya mau bagaimana lagi, kalau tidak ke Jakarta, hasilnya pasti nihil. Paling tidak kami masih bergerak menunjukkan ke teman-teman dan pemerintah, bahwa honorer K2 masih ada,” ujar Ketum Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih kepada JPNN.
Sebisa mungkin Titi menghindari ide demo ke Istana atau ke kantor KemenPAN-RB. Bukan takut berhadapan dengan polisi, tapi takut bila keluarga yang ditinggal kelaparan karena uangnya dipakai untuk aksi demo.
Setiap kali demo, honorer K2 satu kabupaten harus mengeluarkan dana ratusan juta rupiah. Dihitung-hitung sudah miliaran rupiah dana honorer K2 terbuang dalam perjuangan mendapatkan status PNS. Padahal gaji honorer K2 hanya berkutat di angka Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu per bulan.
“Saya kasihan teman-teman kalau harus demo terus. Saya hanya sarankan kalau mau demo ya di wilayah masing-masing saja biar gerakan tetap ada,” ujar Titi.
Lain halnya dengan bidan desa yang tergabung dalam Forum Bidan Desa (Forbides) PTT (Pusat) Indonesia. Forbides sangat aktif memperjuangkan nasibnya lewat aksi demo. Sehari setelah FHK2I bertemu MenPAN-RB, Forbides kembali melakukan aksi unjuk rasa dua hari 25-26 Agustus di depan Istana Negara.
Ribuan bidan desa PTT (Pusat) turun ke jalan menebar aksi ketidakpuasan terhadap pemerintah yang senang obral janji. Mereka berontak, sebagai penyelamat ibu dan bayi, bidan desa PTT merasa dirinya termarginalkan.
“Kami sudah capek dijadikan ATM oleh pejabat Dinkes acapkali memperpanjang kontrak kerja. Kami butuh status PNS dan bukan PTT lagi,” tegas Ketum Forbides PTT (Pusat) Indonesia Lilik Dian Ekasari.
Bila dibandingkan aksi demo honorer K2, aksi demo Forbides lebih profesional. Pendekatan mereka dengan pejabat di lingkaran Istana pun lebih oke. Ini wajar, karena pendidikan para bidan desa memang lebih tinggi. Jumlah bidan desa pun lebih dominasi tenaga muda.
Dari 42 ribuan bidan desa PTT, hanya sekitar 2000-an yang berusia di atas 35 tahun. Berbeda dengan honorer K2 yang dari 439 ribu, lebih dari 50 persen berusia di atas 35 tahun.
Forbides pun lebih paham soal aturan UU ASN. Mereka dengan lantang menyatakan, siap membedah UU ASN.
“Kita jangan mau dibodohi dan dibohongi. Kami sudah bedah UU ASN itu, tidak ada pembatasan usia 35 tahun kok. Lagipula, UU ASN belum dilaksanakan karena enam PP-nya belum jadi semua,” beber Lilik
Ditambahkannya, bagaimana bisa UU ASN dilaksanakan bila aturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah belum satu pun disahkan. Dengan demikian pemerintah harusnya berpijak pada aturan sebelumnya.
Cara honorer K2 dan bidan desa PTT memperjuangkan nasibnya memang beda. Namun, keduanya sesungguhnya membutuhkan kepastian pemerintah tentang aturan hukum yang menjadi landasan pengangkatan mereka menjadi PNS.
(jpnn)