SUMBARPOS.COM – TRIYONO merupakan penyandang cacat fisik. Terinspirasi jasa layanan ojek online, dia ingin memberikan kemudahan kepada para difabel untuk mengakses alat transportasi yang praktis dan nyaman.
Maka, lahirlah jasa ojek difabel yang belakangan juga diminati masyarakat umum dan turis.
SEKARING RATRI, Jogjakarta
Triyono termasuk orang yang pantang menyerah pada nasib.
Meski kedua kakinya tak berfungsi dengan baik lantaran terkena polio, dia sejak kecil tidak mau dibedakan dengan anak-anak normal.
Karena itu, begitu usianya mencukupi untuk masuk SD, Triyono kecil juga ngotot minta dimasukkan di SD, bukan di SLB (sekolah luar biasa).
’’Tapi ditolak. Jadi, saya terpaksa masuk SLB,’’ kenang Triyono saat ditemui Jawa Pos di kantor jasa ojek difabel yang didirikannya, Difa City Tour and Transport, di kawasan Puro Pakualaman, Jogjakarta, Rabu (14/9).
Tak lama setelah masuk SLB, Triyono mendapat tawaran untuk menjalani operasi kaki.
Awalnya, dia sempat girang karena mengira akan bisa berjalan kembali.
’’Ternyata dugaan saya salah. Untuk berdiri, kaki saya tetap harus pakai alat bantu jalan berupa penyangga kaki dari besi dan masih harus pakai kruk,’’ ujarnya.
Meski begitu, Tri –panggilan pria 35 tahun itu– tetap bersyukur. Sebab, sejak mendapat ’’kaki’’ tersebut, pria kelahiran Sukorejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, tersebut bisa leluasa menempuh pendidikan formal di sekolah umum.
Bahkan sampai perguruan tinggi. Dia diterima di Jurusan Ilmu Peternakan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Namun, cita-cita Tri bisa menempuh kuliah di UNS nyaris kandas. Pihak kampus kala itu hampir tidak bisa menerima Tri yang memiliki keterbatasan fisik.
Alasannya, kampus belum punya fasilitas bagi penyandang disabilitas.
’’Intinya, mereka nggak mau tanggung jawab kalau nanti saya nggak sanggup. Tapi, saya ngotot. Saya bilang, saya akan keluar sendiri kalau memang saya nggak sanggup,’’ cerita dia, lantas tersenyum.
Penolakan dan diskriminasi yang diterima justru memacu Tri untuk menunjukkan bahwa dirinya punya kemampuan lebih daripada mahasiswa normal.
Dia pun aktif berorganisasi, bahkan sempat menjabat Sekjen Senat Mahasiswa UNS. Hebatnya lagi, Tri lulus on time, lima tahun.
Bukan hanya itu, Tri yang memiliki jiwa entrepreneurship saat mahasiswa sudah bisa mendirikan usaha di bidang agribisnis peternakan pada 2006.
Usaha yang dijalankan di Sukoharjo, Jawa Tengah, itu pernah meraup omzet Rp 3 miliar setahun.
Berkat usahanya (CV Tri Agri Aurum Multifarm) yang moncer itu, dia dinobatkan sebagai pemenang Wira Usaha Mandiri (WMM) 2010 untuk kategori industri dan jasa. Tri pun masuk jajaran 100 alumnus terbaik UNS.
Namun, usahanya itu kini mulai surut. Meski demikian, Tri mengaku banyak belajar dan tidak lantas patah arang.
Bahkan, dia kemudian merambah bisnis yang lain. Yakni, jasa layanan ojek online khusus para penyandang disabilitas seperti dirinya.
Sebelum itu, Tri dan kawan-kawannya sesama penyandang cacat sempat tertarik untuk melamar pekerjaan di perusahaan ojek online yang sedang naik pamor tersebut. Namun, lamaran mereka ditolak dengan berbagai alasan.
’’Padahal, teman-teman difabel itu susahnya minta ampun kalau cari kerja. Akhirnya ya kerja serabutan seperti jualan sayur, angon bebek, dan pekerjaan ringan lainnya,’’ ujarnya.
Dari situlah, Tri kembali mendapatkan inspirasi untuk mendirikan perusahaan jasa layanan ojek difabel yang kemudian diberi nama Difa City Tour and Transport.
Tapi, kali ini dia pindah ke Jogja yang secara potensi lebih menjanjikan.
Menurut Tri, di Jogja saat ini terdapat 33 ribu penyandang disabilitas yang membutuhkan jasa transportasi khusus.
Selama ini para penyandang disabilitas, khususnya tunanetra, tunadaksa, maupun tunarungu, sering kesulitan saat bepergian seperti orang normal pada umumnya.
’’Saya bisa bilang begini karena saya sendiri mengalami,’’ katanya.
Akhirnya, Juli tahun lalu Tri bersama Puji Santosa, rekannya yang juga penyandang disabilitas, sepakat mendirikan usaha jasa layanan ojek khusus untuk penyandang cacat tersebut.
Dibantu komunitas gerakan Sedekah Rombongan, Tri dan Puji mengawali bisnisnya dengan tiga motor beroda tiga yang dimodifikasi khusus untuk penyandang disabilitas.
Begitu tiga ojek khusus itu siap, mereka merekrut driver dari kalangan penyandang disabilitas.
’’Kalau jaringan saya kan kalangan para wirausahawan, nah Mas Puji inilah yang memiliki jaringan kuat di kalangan aktivis kaum difabel. Jadi, dari dialah saya bisa bertemu dengan teman-teman difabel yang pintar jadi driver motor roda tiga,’’ ujarnya.
Setelah merekrut driver, Tri dan Puji gencar melakukan sosialisasi ke sejumlah perkumpulan difabel dan masyarakat umum.
Untuk perkenalan dan promo, pada enam bulan pertama, Juli–Desember 2015, ongkos yang diterima driver masih seikhlasnya. Buntutnya, selain penumpang difabel, ojek roda tiga itu diminati masyarakat umum dan para turis asing.
’’Ibu-ibu suka panggil kami untuk ke pasar, bawa belanjaan. Kami pun tidak bisa menolak. Yang penting ada penumpang,’’ ujar anak pertama di antara dua bersaudara itu.
Berkat gagasan brilian tersebut, Difa City Tour and Transport diundang secara khusus dalam peringatan Hari Difabel Sedunia pada 1 Desember tahun lalu di Jogjakarta.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Tri dan Puji pun berupaya menarik perhatian undangan maupun media. Upayanya tidak sia-sia.
Sejumlah wartawan mewawancarinya, termasuk dari media asing seperti BBC London dan NHK Jepang.
Dampak publikasi tersebut luar biasa. Pelanggan ojek difabel itu meningkat tajam. Jumlah driver terpaksa ditambah menjadi 15 orang dengan lima driver sebagai cadangan.
Bahkan, saking banyaknya orderan, tidak jarang Tri masih harus turun ke lapangan melayani penumpang.
Kini, setelah setahun lebih beroperasi, para driver Difa memiliki pelanggan tetap. Misalnya, Aris Wahyudi yang menjadi idola penumpang cewek.
Hampir seluruh penumpang langganan Aris adalah perempuan muda penyandang disabilitas. Pembawaan Aris yang ramah dan humoris menyenangkan cewek-cewek itu.
’’Di sini, penumpang bisa request. Tapi, gara-gara keseringan bawa penumpang perempuan, saya pernah dilabrak istri,’’ ujar Aris, lantas terbahak.
Lain halnya dengan Giono yang menjadi kesayangan penumpang tunanetra. Lalu, Surwandono yang digemari nenek-nenek karena halus pembawaannya.
’’Kalau saya, biasanya penumpang yang tahu dari membaca koran yang memberitakan saya,’’ ujarnya.
Tri menceritakan, para driver di Difa memang spesial. Mereka tidak seperti tukang ojek pada umumnya.
Ketika mendapat penumpang tunanetra, mereka tidak segan memberikan servis ekstra tanpa tambahan biaya. Mereka paham para tunanetra membutuhkan perlakuan khusus.
”Jadi, setelah sampai tujuan, driver kami akan nganterin sampai depan rumahnya. Bahkan, kalau penumpang datang ke tempat acara, ya diantar sampai duduk di tempat acara. Bahkan, ke kamar mandi pun akan diantar,” jelasnya.
Para driver juga harus paham order yang disampaikan penumpang difabel. Selama ini pesanan bisa dilakukan dengan menggunakan layanan messaging WA, BBM, dan Facebook. Penumpang juga bisa menyampaikan order melalui hotline yang merupakan nomor pribadi Tri.
Tri mengakui, kadang agak sulit memahami bahasa WA para penumpang tunanetra.
”Karena mereka menggunakan aplikasi suara untuk membuat pesan. Jadi, kadang bisa kebalik-balik antara tempat penjemputan dan tempat tujuan. Begitu juga tunarungu, bahasanya sering kebalik-balik. Jadi, kami harus pintar-pintar memahami,” ungkapnya.
Layanan yang ditawarkan Difa City Tour and Transport, tambah Tri, juga tergolong terjangkau.
Untuk layanan city tour atau keliling kota, tarifnya hanya Rp 100 ribu. Untuk layanan ojek biasa, tarif per 5 kilometer Rp 20 ribu, sedangkan per kilometer berikutnya Rp 2.500.
Tarif itu tergolong murah. Apalagi, ojek difabel bisa mengangkut hingga tiga orang.
Saat ini Tri tengah menyelesaikan aplikasi online mirip Go-Jek untuk diterapkan di Difa City Tour and Transport.
Dia berharap aplikasi itu bisa makin memudahkan para pelanggan untuk order.
”Bahkan, saya sudah berencana membikin Difa Mart di aplikasi tersebut. Jadi, nanti hasil kerajinan atau produk teman-teman difabel bisa dipasarkan di sana,” terang dia.
(JPNN)