Masjid yang Tetap Kukuh saat Tsunami Aceh, Kini Jadi Objek Wisata

Featured110 Dilihat

SUMBARPOS.COM – FOTO udara Masjid Rahmatullah di Lampuuk, Aceh Besar, pada 12 tahun silam, menjadi viral di dunia maya.

Pasalnya, itulah satu-satunya bangunan yang tetap kukuh berdiri di tengah kawasan yang rata dengan tanah tersapu tsunami. Kini masjid itu dikunjungi banyak wisatawan dalam dan luar negeri.

BAYU PUTRA, Aceh Besar

MINGGU pagi, 26 Desember 2004. Warga Gampong (kampung) Lampuuk dilanda kepanikan yang luar biasa karena gempa dahsyat berkekuatan 9,3 SR (skala Richter).

Banyak bangunan yang rusak atau minimal retak-retak. Tak terkecuali Masjid Rahmatullah yang terletak di tengah kampung.

Saat itulah Syahrizal bin Razali, jamaah masjid tersebut, cepat-cepat mengecek kondisi masjid. Tapi, baru sampai di halaman masjid, tiba-tiba terdengar teriakan orang-orang kampung.

’’Mereka berteriak air laut naik, air laut naik. Lari…lari…,’’ ungkap Syahrizal menggambarkan kepanikan warga kala itu.

Syahrizal dan sejumlah jamaah yang berkumpul di depan masjid sempat tidak percaya dengan teriakan warga yang berlarian dari arah barat tersebut.

Baru setelah melihat sendiri gelombang besar air laut yang datang bergulung-gulung menuju masjid, Syahrizal dan jamaah lain lari tunggang langgang menyelamatkan diri.

Namun, terlambat. Laju air laut lebih cepat dari langkah orang-orang kampung itu.

Air bah tersebut menyapu apa saja yang ada di depannya: rumah-rumah, sekolah, balai desa, pohon-pohon, dan tentu saja orang-orang yang tak berdaya.

Mereka habis, hanyut, dan rata dengan tanah. Kecuali Masjid Rahmatullah yang tetap berdiri kukuh.

Bahkan, kubahnya utuh. Hanya lambang bulan bintangnya yang sedikit miring.

’’Waktu itu seharusnya kami lari ke bukit atau naik ke atap masjid. Pasti banyak yang selamat,’’ sesal Syahrizal yang ditemui Jawa Pos di Masjid Rahmatullah, Selasa (6/9).

Syahrizal memang termasuk satu di antara segelintir warga Lampuuk yang selamat. Dia mengaku saat itu tak sadar lari cepat sekali ke arah timur, menjauhi kejaran air laut.

’’Pokoknya, saya lari sekencang-kencangnya. Saya nggak mikir apa-apa lagi. Yang penting selamat,’’ imbuh pria 37 tahun yang sekarang mendapat amanah menjadi bendahara Masjid Rahmatullah itu.

Kini masjid tersebut sudah cantik kembali. Bahkan, catnya terus diperbarui agar tetap terlihat bersih.

Sebab, sejak masjid itu dibuka kembali setelah direnovasi, banyak wisatawan domestik maupun mancanegara yang berdatangan.

Mereka umumnya ingin membuktikan langsung kebenaran berita bahwa Masjid Rahmatullah selamat dari tsunami seperti yang tergambar dalam foto-foto yang beredar di media dan internet.

’’Masjid ini sekarang menjadi objek wisata. Pengunjung datang untuk salat dan melihat langsung kondisi masjid,’’ jelasnya.

Memang, ada satu bagian di pojok tenggara masjid yang dibiarkan apa adanya. Bagian itu hanya ditutupi dinding kaca yang ditempeli foto-foto kondisi masjid sesaat setelah terkena tsunami.

Di dalamnya tampak masih ada bongkahan batu karang dan batu-batu koral yang berserakan di atas pasir.

Ada pula satu tiang masjid yang dibiarkan roboh. Semua itu bertujuan untuk menjadi pengingat bahwa masjid tersebut pernah selamat dari hantaman tsunami.

Terpisah sekitar 20 meter dari bangunan utama, pengurus takmir sedang membuat bangunan baru.

’’(Bangunan) itu mau dijadikan galeri tentang masjid ini agar wisatawan nonmuslim juga bisa menyaksikan dari dekat. Sebab, selama ini wisatawan nonmuslim tidak diizinkan masuk ke ruang utama masjid,’’ lanjut dia.

Syahrizal menuturkan, Masjid Rahmatullah dibangun secara swadaya dan bertahap pada 1990. Biayanya mencapai Rp 500 juta. Dari dana sebesar itu, Rp 150 juta hasil urunan warga.

Selebihnya menggunakan uang hasil lelang sarang walet milik desa. Sarang tersebut berada di sebuah gua tepi laut di kawasan perbukitan sebelah desa.

’’Gua itu disewakan Rp 70 juta setahun. Pemenangnya bisa memanfaatkan gua itu untuk sarang walet selama masa sewa. Jadi, setiap tahun gua itu dilelang agar dapat harga yang terus naik,’’ tuturnya.

Masjid tersebut diresmikan pada 1998 dan mampu menampung 4.000 jamaah. Namun, pada hari-hari biasa, masjid hanya terisi tak lebih dari setengahnya.

Jamaah baru penuh bila salat Jumat atau salat Idul Fitri dan Idul Adha.

Salah satu keunggulan masjid seluas 1.600 meter persegi itu adalah tiang-tiang betonnya yang tebal dan kuat. Begitu pula temboknya.

”Temboknya menggunakan bata dua susun yang dijajar,” ucap ayah satu anak tersebut.

Satu perubahan mendasar di masjid itu adalah arah kiblat. Dari karpet yang dipasang, tampak arah kiblat digeser sekitar 30 derajat ke kanan.

Perubahan tersebut dilakukan setelah Dinas Syariat Islam setempat turun dan meninjau masjid. Setelah dilakukan pengukuran, rupanya arah kiblat masjid itu belum tepat.

Dengan digeser sekitar 30 derajat tersebut, kini arah kiblat Masjid Rahmatullah dipastikan pas mengarah ke Kakbah.

”Sudah disertifikasi tim Badan Hisab Rukyat (BHR) tahun lalu,” kata Syahrizah seraya menunjukkan sertifikat dari BHR tertanggal 16 September 2015.

Yang sedikit berbeda lagi, kini ada dua menara tinggi yang di atasnya terdapat pengeras suara (speaker).

Maka, sekarang suara azan bisa terdengar dari kejauhan. Juga ada prasasti yang menandakan bahwa masjid itu selamat dari tsunami.

Selain masjid, permukiman Gampong Lampuuk juga dibangun kembali. Di antaranya atas bantuan Bulan Sabit Merah dari Turki. Kini permukiman tersebut telah dipenuhi warga yang dulu kehilangan tempat tinggal.

Kini masjid itu menjadi objek wisata baru di Aceh. Memang belum banyak pengunjungnya seperti tempat rekreasi umum.

Pengunjung Masjid Rahmatullah masih kalangan wisatawan yang beragama Islam.

Yang dari luar negeri kebanyakan wisatawan dari Malaysia. Mereka datang perorangan maupun berombongan. Sebulan rata-rata 100–200 orang.

Hari itu, misalnya, ada rombongan wisatawan asal Malaysia yang datang berombongan 12 orang.

Menurut ketua rombongan Abu Khalifah Mohammad Sholeh, mereka sudah empat hari berada di Aceh. ”Ini hari terakhir. Besok kami harus pulang,” ujarnya.

Wisatawan dari negeri tetangga itu memang sengaja berkunjung ke Aceh untuk melihat langsung ”ikon-ikon” bencana tsunami 2004.

Selain Masjid Rahmatullah, juga museum tsunami dan Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh yang tetap utuh.

Abu mengatakan, warga Malaysia yang berwisata ke Aceh banyak karena Aceh Darussalam menerapkan budaya syariat Islam. ”Kami perlu studi komparatif,” ujar pria 45 tahun tersebut.

Selain itu, ada faktor kedekatan psikologis antara warga Aceh dan Malaysia. Abu mengungkapkan, sehari setelah tsunami, media-media Malaysia kerap memberitakan kondisi Aceh. Pemerintah Malaysia juga memberikan bantuan kepada Indonesia untuk memulihkan kondisi di Aceh.

Sayang, kunjungan wisatawan ke Masjid Rahmatullah tersebut tidak banyak berpengaruh terhadap warga sekitar masjid.

Tidak tampak inisiatif warga untuk membuka sentra ekonomi kreatif yang bisa menunjang masjid itu sebagai salah satu ikon wisata di Aceh seperti Masjid Ampel di Surabaya.

 

 

(JPNN)

Tinggalkan Balasan